Tentang Dia yang Kecewa

Saya sekarang sedang kecewa. Semester ini sedang benar-benar buruk. Namun ada yang benar-benar lebih buruk. Dan itulah yang ingin kuceritakan.

Pernahkah kalian pun merasa kecewa? Ah, tentu saja. Jelas semua orang pernah merasakan kecewa dan bagaimana tidak menyenangkannya hal tersebut.

Namun, pernahkah kalian menghukum seseorang karena kalian kecewa terhadap orang itu? Menurutku ini pertanyaan yang berlebihan. Dan akan sangat lebay jika memang dilakukan oleh seseorang dalam bentuk nyata.

Dalam ceritaku ini, sebutlah seseorang bernama Hidir, tentu saja bukan Hidir Si Pak Tua dalam roman kehidupan Aku, Kamu, dan Kota Kita, karangan Tere Liye itu. Hidir disana jelas saja Pak Tua yang selalu bijak. Yang perkataannya hampir selalu benar dengan pengalaman hidup yang mumpuni, yang telah bertualang hampir ke sepertiga negeri di dunia. Namun, Hidir yang ingin kuceritakan ini adalah Hidir yang berbeda. Hidir yang sangat lihai berkata-kata. Mungkin hampir setipe dengan Pak Tua yang bijak berkata-kata, tetapi tokoh ini benar-benar berbeda. Dia bukan si bijak, bukan pula orator ulung, tetapi seorang hanya bisa berkata dengan angkuh, ingin dinilai serba bisa dan hebat, begitulah. Dia sungguh-sungguh berbeda.

Pernahkah kalian bertemu dengan orang seperti itu? Bukankah menyebalkan sekali? Bagaimana ia dengan lincahnya mengatakan betapa hebatnya ia, bagaimana ia pernah kemana-mana, bagaimana ia mengenal sesiapa, bagaimana ia pula menasehati kita dengan segala nasihat-nasihat yang begitu murni, tetapi sesungguhnya dia sendiri tidak benar-benar melakukan. Bagaimana orang itu senang menyindir, mengkritik, dan menyalahkan banyak orang padahal sebenarnya dia sendiri tidak sadar bahwa sindiran, kritikan, kesalahan itu mengenai mukanya sendiri dengan sangat telak.

Lalu, mungkin kalian langsung bertanya-tanya. Apa hubungannya dengan kekecewan itu sendiri? Inilah intinya.

Hidir dalam ceritaku ini sedang kecewa. Dan dengan lihainya ia mengatakan bagaimana kami ini tidak seperti dia dulu. Bagaimana kami ini sangat teledor dan tidak mempunyai toleransi dan solidaritas yang tinggi. Namun, jika kalian perhatikan dengan seksama kemarahannya itu, apakah kalian memikirkan hal yang sama seperti yang kupikirkan, tidakkah itu sebenarnya juga menyinggung dirinya sendiri yang tidak mempunyai toleransi dan solidaritas kepada kami?

Dia kecewa. Dia menguak bahwa banyak sekali orang yang telah mengalami kekecewaan kepada kami. Ya, tentu saja kami tahu itu. Bagaimana mungkin jangka waktu selama enam bulan tidak akan membuahkan sebuah kekecewaan pada hubungan yang terjalin. Jelas saja ada. Hanya saja, orang-orang ketika kecewa tidak akan memberikan hukuman atau apa saja. Mereka mungkin mengeluh, namun tidak akan melebihi itu.

Sesungguhnya, kekecewaan itu bukanlah berawal dari kesalahan fatal yang kami lakukan, mungkin memang mengecewakan. Kami terbiasa untuk mengandalkan sang kepala suku untuk menghandlle segala urusan. Tetap saja hal tersebut sebenarnya masih dalam batas bisa dimaafkan. Hanya saja, Hidir dalam ceritaku ini sudah sangat menggebunya tentang sebuah kesempurnaan dalam beridealisme. Sudah menganggap dirinya ideal dan apapun yang dilakukannya harus ideal dan harus diakui sebagai keidealan. Maka dia tidak memaafkan kesalahan kami karena akan merusak keidealannya itu. Kami terancam anjlok.

Aku sesungguhnya ingin tersenyum, meski aku juga sangat ingin menangis atas keputusannya itu. Adakah politik pencitraan telah merasuki banyak orang hingga ke berbagai lapisan masyarakat.

Tentang kebaikan, tentang keidealan, dan tentang keprofesionalismean jelas saja bukan hak diri sendiri untuk menilai bahwa kita telah ideal, telah profesional, atau telah menjadi pribadi yang baik. Itu bukan urusan kita. Meski, saya juga mengkritisi pendapat orang yang mengindahkan ‘bahwa orang lain yang menentukan apakah orang itu sombong atau tidak.” Saya tidak setuju, sebab orang lain tidak mengerti hati kita. Mungkin saja, orang tersebut melihat kita tidak menegurnya pada saat kita sedang terburu-buru sehingga tidak punya kesempatan untuk menyapa. Atau orang tersebut adalah tipe orang pemalu yang tidak berani menegur terlebih dulu. Tentu saja penilaian orang itu sangat relatif dan sangat bersifat kulit semata. Apalagi pandangan atau penilaian seperti itu dilakukan oleh orang yang tidak mengenal orang yang dinilainya sama sekali.

Boleh jadi tulisan ini juga bersifat sangat subjektif, tetapi adakah pendapat yang sama yang dikomentarkan oleh puluhan orang masih dipandang sebagai pendapat subjektif untuk orang yang tingkat popularitasnya tidak tinggi dengan intensitas pertemuan mereka yang intens selama satu tahun?

Maka, sebenarnya dalam tulisan ini aku sedang berharap dan bermohon hanya pada yang mampu menampung segala harap dan keluh kesah dari setiap hambanya. Bukankah hanya berdoa kepada Allah SWT, kita tentu takkan beroleh kecewa? Sebab dia sungguh sangat tahu apa yang terbaik untuk hambanya.

Tinggalkan komentar